Nah karena itu saya suka yang cepat dan praktis, sebenarnya di depan kantor saya banyak sekali warung – warung makanan, sesekali saya kesana untuk ganti suasana, namun sehari – harinyasering sarapan pagi dengan roti. Kebetulan tempat kost sama swalayan yang mau saya tuju tidak terlalu jauh kira – kira 300 meter Indomaret, *upps.. sebut merek ya*. Kebiasaan buruk yang lain keluar saat sesampainya di toko, air liur ini memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak tatkala mata melihat jajanan ringan French Fries, Lays Potato, Chitato dan sebangsanya. Mau tak mau itu menjadi suatu kesatuan yang berdaulat(tak terpisahkan) yang harus dibeli selain minuman ringan pengganti ion Pocari Sweat dan Roti tawar merk Sari Roti. Saat itu sebenarnya jam sembilan malam, namun jalan yang kulewati seperti lorong gelap yang tak bertuan. Terlintas difikiran “Ini katanaya kota besar, kok jam segini jalanan sepi, nggak ada pedati yang lewat!”. Sempat merinding juga setelah teringan beberapa cerita kalau di daerah sini sering terjadi tindak kejahatan.
Jalan yang sepi kulalui dengan tiap langkahku. Kuberjalan sendiri di lelapnya malam, sepertinya lampu – lampu jalanan tidak cukup memberi terang, dan kumelihat seorang bocah tertidur di jalanandengan selimutnya seperti bayi tak mimpi – tak mimpi. Kubaca cerita tentang kegagalan, lorong – lorong jalanan tak diam dan aku pun menantang bintang bintang bintang yang tak mau menggangu tidurnya. Ingin kubuka selimutnya. Ingin kubangunkan nyenyak tidurnya dan kunyanyikan lagu tentang hari – hari yang semakin tak menentu mengalir tak tentu dan terbersit dibenakku apakah “Fakir miskin dan anak – anak terlantar tidak dipelihara oleh negara”. Malam yang membuatku merenung.