“Sore-sore padhang bulan, ayo kanca padha dolanan. Rene-rene bebarengan, rame-rame do gegojekan, kae-kae rembulane yen disawang kok ngawe-ngawe….” lantunan lagu ini menerbangkan saya sejenak beberapa ratus kilometer ke arah timur tepatnya ke kampung halaman di Kediri.
Mendengarkan lantunan tembang jawa ini membuat saya manggut-manggut dan suasana Jakarta selama siang ini sangat panas mendadak adem. Tak hanya lagunya, sama gethuknya pun saya sudah rindu, sepertinya sudah lama nggak ketemu sama gethuk…
Ditengah lagu-lagu dalam maupun luar yang silih berganti, lagu campursari tidak ada matinya, lagu gethuk ini salah satunya. Lagu gethuk yang dibawakan Nur Afni Octavia ini cukup menjadi penyegar di tengah rutinitas yang silih berganti.
Kenapa gethuk?
Ada makna tersendiri bagi saya, ditengah perkembangan jaman, kearifan budaya dapat menjadi sebuah penyegar kembali. Ukiran tembang-tembang jawa berisikan nilai budaya maupun pesan-pesan moral, sangat sayang sekali kalau kedepannya nilai budaya ini hilang terkikis jaman.
Tak hanya yang saya sebutkan diatas, nilai kearifan lokal di kita ini banyak sekali, jangan sampai kita melupakan nilai serta kebudayaan yang ada, apalagi lupa sama gethuk nya, dijamin menyesal. Jadi melalui tulisan ini, saya sangat berterima kasih sama penemu gethuk? walaupun sampai dengan saat ini saya belum tahu siapa yang menemukan. Yang jelas beliau sudah banyak menginspirasi banyak orang salah satunya Manthous untuk gethuk.. lagu gethuk maksudnya.
Siang tadi sempat mampir ke Pameran expo pertanian serta kebudayaan Nusantara di JCC, sedikit banyak menyadarkan saya “tibakno isine macem-macem, cuman sing dingerteni mek sithik-sithik, mung gethuk tok wahaha”…